MENDUNG SORE

Thursday, February 18, 2016

Gimana rasanya udah mau married?

Pertanyaan itu udah hampir mengalahkan pertanyaan rutin dari nyokap yang udah dia lontarkan selama gw hidup:

"Kamu udah berak 2 kali sehari belom?"

Postingan berikut ini bakalan jadi jawaban panjang dari pertanyaan "Gimana rasanya udah mau married." Kalo lu pernah denger gw jawab dengan respon singkat, itu berarti gw males jelasin panjang lebar dan as usual, gw lebih bagus merangkai kata dalam tulisan :)

Apa rasanya udah mau married?

To be honest, pertanyaan ini bisa dibagi jadi dua penjelasan. Bisa tentang wedding preparation atau life after marriage. Kalo tentang wedding preparation yang di Perth, I AM REALLY EXCITED! Karena gw bisa make everything vintage dan acara nya bakal super simple. Gw jamin typical orang Jkt yang konglomerat kalo liat kawinan gw di Perth pasti bakal mikir either:

1. Gw hamil diluar nikah karena terlihat sangat terburu-buru ATAU
2. Gw sama Albert udah jatuh miskin.

Kalo wedding preparation di Jkt, to be honest I want it to be over as soon as possible karena udah kebayang banget ribet nya kayak apa. Dan... as much as gw pengen konsep vintage buat tema dekor di kawinan Jkt, pasti ada aja orang yang berasumsi bahwa VINTAGE = JADUL = MISKIN. Thanks.

Nah kalo gw mau jawab dari perspective yang lebih deep... To be honest, gw cuma bisa bilang... the more I want to make this relationship "perfect", the more I feel so anxious about it. And gimana gw manage biar gw less anxious is stop asking too much advice from others. 

Banyak yang mempertanyakan kenapa seorang Acing yang masih muda belia mau menikah di umur 23. Well, ada yang mengira gw menikah untuk mendapatkan citizenship Australia (ya Allah, mulut minta dicabein). Tapi alasan dari gw jujur aja karena it just feels right and gw tau ini sounds cheesy or cliche. Tapi I can't wait to start my new adventure with Albert. I know that I am with the man that has made the best out of me for the last 4.5 years. Yes, gw tau dia ga perfect dan there are a lot of differences between us. Tapi there is a satisfaction saat kita berdua bisa be our selves, be honest, be a human being and yet we don't kill each other walaupun kita tau kekurangan masing-masing. So far ini relationship terlama gw dan it is not an easy ride. Ada waktunya dimana kita alay, kita emo, kita hate each other, kita unintentionally hurt each other, and so on. But when I look back, gw tau bahwa kita grow together to become a better person.

To be honest, gw orang yang takut sama long life commitment aka marriage. Temen-temen gw yang udah tau gw manusia macam apa pasti mengerti kenapa :p As much as gw gak mau terlihat kayak wanita lemah di sinetron Korea, tapi gw percaya marriage is the first door to hell in your life. Ini cycle marriage di otak gw:

Bikin anak (enak) - punya anak (lu jadi gendut) - suami mulai berpaling ke wanita macam Barbie - diselingkuhin pas anak-anak masih kecil - gak bisa divorce karena harta dipegang suami- mati. 

Kenapa gw bisa mikir seperti itu?

Karena mayoritas orang yang married di sekeliling gw yah jarang yang happy ending. It's how gw make sense the meaning of marriage. Tapi setelah gw merasakan sendiri proses udah mau marriage, gw cuma bisa bilang that we need to put God first in our relationship. Please, jangan mikir gw mau mengkristenisasi para pembaca atau mau pencitraan semata. Gw ngomong ini karena gw tau... gw dan Albert itu FARRRRR from perfect. Dan gw berdua gak suci - whatever people think tentang suci. That's why kita gak bisa cuma count on each other based on emotion or feeling or mood kita. Karena gw percaya there are times pas kita sama-sama bosen liat each other atau kita udah kehabisan conversation atau api asmara mulai meredup. And we are all imperfect dan one alternative buat stay in a long relationship yah... "jajan". Bukan jajan anak mas atau citato rasa mie goreng. Tapi jajan ayam kampus atau laki brondong.

Menurut gw the more gw gak put God as a centre of our relationship, the more gw nuntut partner gw to be perfect according to my standard. Dan gw start listening advice dari orang-orang sekitar yang menurut gw subjektif banget. Gw gak bilang advice tentang relationship yang pernah gw denger itu bullshit. Tapi not all advice (even from your closest one) are really relevant karena bukan mereka yang ngejalanin. Plus, menurut gw the more lu dengerin banyak orang, the more lu put others' expectations in your relationship.

And I did that and it's so stupid.

Gw bisa talk in ages about this issue, tapi kita bahas saja di sesi yang akan datang. Intinya, don't even try to fit expectations of your parents, siblings, best friends, priests - you name it - into your relationship. Orang bisa bilang many things about what is the right/perfect Christian marriage - entah lu harus katekisasi pernikahan selama 1 tahun 5 bulan 23 jam di gereja A atau B, atau lu harus pake kalung salib pas married biar pernikahan lebih diberkati, atau lu harus menikah di hari Natal saat bulan purnama (okay ini gw mulai ngarang) hahhaha tapi you know what I mean.

Menurut gw at the end of the day perspective yang matter most itu cuma dari Tuhan - relationship lu dan partner lu sama Tuhan. PERIOD. One thing yang gw pelajarin dari dengerin advice orang, especially tentang relationship adalah some people try to force their expectations or standards into your relationship karena mereka wish they could've done it earlier in their relationship.

After all, dibilang gw siap ya gw juga gak tau siap dalam hal apa. Kalo siap untuk nikah itu kayak pertanyaan yang terlalu broad. Menurut gw there will be time gw pasti mesti adapt punya "new parents and siblings". Atau harus deal sama urusan duit. Sumpah gw really bad at saving (kalo gw jatuh miskin, itu semua karena addiction gw sama barang vintage dan makanan). Untung nya Albert mahir dalam hal keuangan dan dia melipatgandakan kekayaan rumah tangga kita (tenang, dia bukan babi ngepet).

Tapi one thing yang gw sangat bersyukur adalah Tuhan udah slowly change perspective gw about marriage in a positive way.

Short story, at the end of last year gw experienced one amazing thing. Gw bisa bilang mungkin itu miracle. Intinya there is one big moment saat gw tau God really shows me that marriage is not a curse. Tapi itu an unpredictable, surprising, beautiful journey. Tuhan gak promise it will be easy and always perfect, tapi Tuhan udah siapin the right life partner yang bisa Tuhan pake buat kasih liat tentang faith and honesty (Gw harus give credit untuk teman tercinta yang bernama Prisma Kinanti karena sudah membantu gw untuk kembali ke jalan yang benar).

Sekian post malam ini. Semoga kalau gw mengalami kerikil dalam rumah tangga di masa yang akan mendatang, gw bisa balik ke postingan ini dan gak menjadi Gone Girl.

(Albert takut banget gw jadi cewek kayak di Gone Girl karena aktor utama nya suka nulis diary dan gw juga suka nulis diary. BAM!)

(Kalo kamu selingkuhin aku, itu mungkin akan terjadi)

(Dan kita akan jadi kontroversial dan terkenal)

(Okay, mulai ngarang. STAHP IT. BYE!)

"Recently, I had dinner with my friend who would love to be married.
I shared with my friend that when I was single, I thought marriage was all about finding the right partner. I think it’s good to have a list of standards we look for in a spouse. However, it can never be with the expectation that if I find that special someone, they’ll right all my wrongs and fill up all my insecurities.
To expect another person to make me feel happy, secure and fulfilled will leave me disappointed at best and disillusioned at worst. Even a great spouse makes a very poor God.
So my friend decided instead of just focusing on finding the right partner, she would let God work on her heart to help her become the right partner." - Lysa TerKeurst