MENDUNG SORE

Tuesday, July 28, 2020

Mister Gepeng vs. Kebelet Mencret

Kalo TK atau SD lu bukan di internesyenel school, sudah bisa dipastikan kalo di benak lu tertanam memori temen2 lu (atau mungkin lu sendiri) yg mencret di celana. Nah, sepanjang gw hidup di bumi selama hampir 30 tahun, sebenernya ada banyak cerita soal mencret/berak di celana yg sangat membekas di kepala gw.

Namun, karena gw nulisnya blog dan bukan novella, gw hanya akan membagikan 2 cerita mencret bagi kalian. Tapi sebelum kita mulai ke klimaks cerita, kita pemanasan dulu deh dari cerita yang bikin lu cuma geli2 bergidik sedikit, tapi gak sampe mau muntah.

1. Lagu Selow Merangsang Perut Untuk Berak
Waktu itu gw masih TK dan gw excited banget buat ngikutin ekstrakurikuler nari Balet yang ada di sekolah. Pas dateng ke kelas tuh gw udah sangat ready untuk menari gemulai seperti anak-anak lainnya di kelas itu. Gw pun berputar kesana kemari berbalut baju pink stretch ala-ala penari Balet.

Nah, ini info yang harus lu ketahui lebih lagi.

Jadi, entah kenapa pencernaan gw tuh sensitif kalo denger lagu selow. Makanya tiap denger lagu selow tuh perut gue kek semacam mendapat rangsangan untuk eek gitu.

Lanjut nih ye.

Jadi di hari itu gw emang lagi diare. Gw dulu emang sering banget sih diare sampe bool pantat gw tuh lecet gara2 keseringan dicebok. Kata nyokap sih pencernaan gw waktu masih kecil emang hina karena waktu gw umur 3 tahun, mbak gw pakein telor rebus gw sama micin dan bukan sama garem. Oke, lanjut.

Pas lagi di kelas kita mulai deh tuh gerakan yang lemah gemulai gitu. Lagu selow pun mulai disetel. Sialnya, perut gw yg emang udah gak beres tiba-tiba berulah DAN keluarlah cairan berwarna coklat kekuningan itu dari celana gw. Akhirnya si mbak Ai (duta cebokin anak2 TK di sekolah gw) langsung gendong gw keluar terus gw ditaro di tong sampah.

Gak deh, becanda. Iya, dia keluarin gw dari kelas terus cebokin gw. Dan sejak itu, gw gak mau lagi dateng ke kelas nari itu karena malu.

2. Mister Gepeng vs. Kebelet Mencret
Berikutnya adalah kisah mencret dari seseorang yg gw kenal cukup dekat. Namun sayang gw gak bisa menyebutkan identitasnya demi menjaga reputasi yg bersangkutan. Jadi, mari kita sebut orang ini dengan nama samaran Saipul.

Kisah ini terjadi di akhir taun 90an, masa di mana kisah horor Mister Gepeng sangat heboh beredar di seluruh penjuru sekolah yang ada di Jakarta. Kalo lu masih inget tentang mitos si Mister Gepeng ini, katanya kan dia tuh mati karena kejepit di lift terus pas mati mukanya yah gepeng karena kegencet gitu.

Nah, somehow... Ada berita yg beredar bahwa kalo lu mau ketemu sama si Mister Gepeng, lu tuh harus pergi ke salah satu kamar mandi di sekolah lu. Terus lu ketuk2 deh pintunya beberapa kali lah sambil nyebutin nama Mister Gepeng or something like that.

Dan karena zaman itu kita masih percaya berita hoax macam orangtua kita yg heboh di grup chat WhatsApp, anak2 yg tidak berpikir kritis di sekolah pun memenuhi seluruh kamar mandi yg ada sambil ketuk2 pintu dan nyebutin nama "Mister Gepeng".

Nah, apa hubungannya Mister Gepeng dengan tragedi mencret si Saipul?

Di tengah siang bolong, Saipul yg saat itu masih duduk di bangku kelas 5 SD pengen ke toilet karena udah kebelet berak. Dari kelasnya yang ada di lantai 3, dia pun mencoba untuk mencari toilet yg nuansanya damai dan gak rame sama kerumuman anak2 yg mencoba manggil Mister Gepeng.

Namun, malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih... Hampir semua toilet yg ada di sekitar kelasnya PENUH. Entah berapa lama yg diperlukan Saipul untuk berjuang naik turun tangga nyari kamar mandi sambil nahan berak.

Singkat cerita, toilet pun perlahan menjadi sepi dan Saipul langsung mengambil kesempatan emas ini untuk segera berlari ke toilet terdekat karena tokay sudah berada di ujung pantat.

Cepat2 Saipul membanting pintu toilet dan membuka celana sekolahnya. Namun, semua sudah terlambat. Pencernaanya murka.

Pencernaan Saipul akhirnya meluncurkan serangan balas dendam pada Saipul dengan cara meledakkan seluruh kotoran hina itu ke segala penjuru.

Tekstur tokay yang tadinya pulen dan dapat meluncur ke kloset dengan anggun sudah berubah menjadi tekstur coklat kekuningan najis tak berbentuk.

Hanya sedikit yang meluncur ke dalam kloset karena kotoran najis itu sudah berpencar ke segala arah, mulai dari ember, gayung cebok, kolor, kaos kaki Saipul... bahkan sampai ke dinding deket ember kena imbas ledakan jahanam itu.

Saipul mau tak mau menghabiskan waktu yg lama di ruangan itu karena harus sekalian cuci2 sedikit untuk menghilangkan jejak ledakan tai yg ada di kamar mandi.

Setelah keluar dari kamar mandi, pencernaan Saipul sudah tidak murka lagi. Tapi, hatinya harus rela untuk melanjutkan pelajaran sekolah tanpa kolor dan kaos kaki yang harus dibuang karena bau tai.

--

Sekian cerita mencretnya. Semoga abis ini kalian gak muntah dan tetap punya napsu makan. K, bye!



Thursday, February 28, 2019

This "Double Life" of Mine

"What?? So, your family and Indo friends don't really know how much your involvement and achievement in dancing?"

I slightly smiled and replied, "Yes."

"But... why??" asked them.

Again, only a slight smile. But this time no words or any make-sense explanation come out from my mouth. Usually it's some kind of gibberish and ended up with "Uhm, actually... I don't know. I haven't had any answer for that yet."

I try to move on with my life, keep doing the things I love everyday. But almost every day I keep wondering about:  Why do I have this "double life"?

What am I really trying to hide? Why do I make it in such a way that my circle in Indo only need to know me as a casual writer/blogger, while my circle in AU and Spain only need to know me as a dancer?

Why can I just be open to everyone in my life about both world of mine that I'm very passionate about, which are dancing and writing?

________________________________

I was writing this post in my rehearsal room, which is 10 mins away from my home by bike. During these 4 hours that supposed to be for working on my dancing stuff, I ended up having an unexpected mental breakdown. I arrived in this room, sat down, burst into tears, and cried at the top of my lungs for almost 30 mins.

Oh well, it turned out that listening to a meditation podcast before starting your day is not always a great idea. As in my case, it led me to this unexpected mental breakdown that's totally out of my plan of having a "productive" day.

I still have many hours to kill in this room. Yet I can't function now. I don't feel like practicing dancing at all. So, I think this is the best thing I can do: to just be real and as honest as possible to myself and to those who're gonna read this story. And I hope that this story will reach you out and help you in some ways. 

________________________________

As I was typing all of these words, my brain and heart keep forcing me to get back to the painful past that happened in 2008.

I wasn't the brightest kid in terms of my academic achievement. I got used to people's comments when they said why I couldn't be so damn smart like my oldest sister. I tried to not give a shit about that, but of course it's kinda like fucking up with my self esteem even until now.

I was 16 y.o at that time and I always had this dream to study and live abroad. So, when the opportunity came to study abroad in Taiwan, I was so excited and I wanted to take it! I didn't care much about what people would comment about my dream that seemed to be "too dreamy" for some people.

I told to myself, "Gosh, I need to get out from Jakarta. I really need to make this happen!"

So, I started to do my own research by asking friends who had experience studying in Taiwan, looking for an education agent, and so on. After I found an education agent, I went to their workshop/open-day where they explained about the requirements needed for studying abroad in Taiwan.

I remember that there's this passionate coordinator who explained all these exciting opportunities for me and other teenagers there. He continued by mentioning about the requirements and he said:

"If you're interested to take this opportunity, you can come to my office and we can talk about your plan for studying abroad in details. 

You DO NOT need any particular level in Chinese language as it's compulsory for every international student to take one year of language school once you guys arrive in Taiwan."

A week after attending that event, I started intensive course in Chinese near my house and finally arranged the meeting to chat more with the coordinator. Maybe around two months later, I met up with him in his office.  It was only two of us in his room and I started asking him about the details of official documents for studying abroad in Taiwan.

He explained a few stuff and asked me about my language level in Chinese. I told him the truth that I just started doing my course a month ago. He looked at me in shock and suddenly grabbed a book from his desk.

"Okay, so you're a beginner level, right? I have this book. It's a reading book for 5 y.o kid. Now read it to me. Read what you can understand," said him in a demeaning way. 

My body suddenly freezed (and for those of you who've experienced panic attacks, I'm sure you totally understand what I'm talking about). Yet, I tried my best to read any word that I knew because I didn't want to look like an idiot. But, the more I tried to impress him, the worst the situation became. In the end, I stuttered and gave up reading it out loud.

And his response after that?

"Are you kidding me? You want to study to Taiwan with this kind of language level? Are you dreaming or what??" 

I nervously replied to him by quoting his words a few months ago that "You DO NOT need any particular level in Chinese language as it's compulsory for every international student to take one year of language school in Taiwan" blablablabla.

And he laughed at me with the most demeaning look I've ever seen. As if I was the most naive, stupid young kid who could only dream and dream without any effort to give.

Anyway, I totally forgot how everything ended. Until now I don't even know how I could manage to get out from his room. All I remember at that time was I ran to the parking lot as fast as I could, got into my car, and burst out into tears.

My driver asked me what happened and I told him the truth. He listened to me patiently and kept nodding while he was driving me home. When I got home, I told my driver not to tell this to my parents. A few weeks later, I told my parents and friends that I cancelled my plan to study abroad.

And they were like "Uuh gurl, whaaaat...."

They kept asking me why I suddenly changed my mind. I kept saying, "Well, I just don't feel like doing it now."

They didn't buy it and assumed that maybe the reason behind it was because I wanted to stay with my boyfriend at high school and didn't want to have a long distance relationship with him.

I allowed them to think that I was that shallow because telling the truth was just too painful for me. I think only in 2015, which is seven years later, that I finally had the ability to articulate it quite well to myself about what the heck happened in 2008.

So, my past about being humiliated by this coordinator of education agent is the most humiliating moment I've had in my life.

________________________________

11 years later. Now. 2019. 

Good and bad things happened. It's normal. That's life. I told to myself, "Just suck it up."

But there are a few triggering moments in the last few weeks that really messed up with my mind.

Every encounter with the superior-inferior-manipulation-power struggle bullshit situation always brings me back to this disgusting feeling of being humiliated. Every word, every feeling is printed so clearly on my mind as if this shit just happened yesterday.

No matter how often I repeat all the positive affirmations in my mind, I can't ignore the voice in my head that keeps saying,

"Gurl, wtf are you doing with your dancing and writing? You're seriously nothing. You're a loser, remember? Just like how many people think about you throughout your childhood and even until now. Just be a loser because that's the label that suits best to yourself."

As I sat in this room alone - crying, typing while eating snacks because I was so fucking hungry from this emotional roller coaster - I decided to analyse this pain, connect the dots, and see some patterns in my life that keep occuring. 

It turned out that this shitty past of mine somehow become the reason of why I have this "double life"; why I trust sharing my writing world to some people, but not about my dancing life and vice versa. 

I realise that what hurts me most about my past is not only the humiliation itself, but also the feeling of being belittled so low as if you have no worth to even exist in this world. As if every dream and wild idea you have is just so mediocre, silly and fucking dumb. 

I had been paralysed with my own fear and shame that I have chosen to create this huge wall to protect my passions, my pride, my pure joy, my hopes, and my wild ideas with every weapon I have.

But creating a huge wall also turns out to be painful as I can't fully trust everyone in my life - even those who are very close to me. All I can feel all the time is this deep loneliness and harsh judgment towards myself. 

________________________________

As I was typing these words, I've been thinking about how I want to end this "self revelation" that sucks my whole energy, but also bring a new perspective about myself. 

Maybe with some life advice? Or more swear words? Or maybe I'm just gonna leave this story as an open case?

I choose all of them and this is the only thing that I can say to close this unexpected mental breakdown. 

I believe that there's a hidden painful past in every cold/arrogant/pathetic/bitch/asshole/kind-hearted/humble/authentic/wise person whom we met in our life.

As much as I want to have a simple life like my doggo and my kitten to just sleep, play, and shit, somehow I was chosen to be born as a human being and now my time is running out. I can't run away anymore from my past.

In order to move on with my life and creating the work that really produces pure joy, I need to look at my wound and let that heal properly even if it means that I'm gonna cry and scream with a lot of my favourite swearing words. 

I'm sure my life for the next few days won't change miraculously.

But at least, I've connected the dots in my life, I've seen some patterns that need to be tweaked, and I've dealt with my past face to face. 

If you've been experiencing this impostor syndrome, I just want to let you know that you're not the only one. We're all on the same boat and trying to survive - doing the best as we could to respect ourself as it is. 

One last thing, when I heard the meditation podcast this afternoon, it said that when you start feeling uneasy and judgmental about yourself/your past, etc, the best thing to do is to recognise it and embrace it as it is without beating yourself up. 

The next step is to reach beyond yourself and remember any kindness in your life that will make you feel calm and safe. 

Mine is a sincere prayer from my mum. 

She doesn't know any shit about my dancing world, but she knows that I'm gonna start my first dancing workshop on the 4th of March.

And she sent me this message yesterday afternoon while I was having my brain all over the place:

"Hey, how are you? Have you started your dancing workshop yet? I pray to God everyday that you're happy, healthy and I hope that you have students with sincere interest for coming to your class."

In the end, all I need is not a big fame/reputation/image in my dancing or writing world - not even a recognition from people. 

All I need is this simple yet sincere care, love and prayer from my mum. 

I hope that you can find your moment of kindness that brings you joy and reminds you that you're always loved. 



Friday, February 1, 2019

LOSER?

Anyway, minggu ini gue baru saja melakukan transformasi besar-besaran untuk kelangsungan hidup gue selama 2019. Dan semua ini akan berhubungan dg the feeling of being "loser". 

Semuanya berjalan baik sih, tapi sumpah gw mentally exhausted bgt dan gw really need to pour it all out di postingan ini.

Kalian yg sabar ya untuk baca postingan ttg journey gw minggu ini menjadi "kupu-kupu Spanyol" (bukan jadi PSK disini, tapi berubah jadi akuh yg lebih baruh di duarebusembilanbelash). 

SO... karena satu dan lain hal yg crucial, awal tahun ini gw memutuskan untuk kembali lagi ngajar nari.

Masalahnya gw gak akan ngajar di bawah naungan sekolah nari kayak dulu pas gw di Madrid karena emang disini komunitas narinya jauh lebih kecil. Alhasil, mau tak mau gw harus ngajar nari di bawah naungan nama gw sendiri.

Tapi coba bayangin ini... hidup gw minggu ini tuh kayak lagi di permainan Benteng Takeshi - banyak rintangan untuk mewujudkan keputusan di otak gue itu agar menjadi bentuk nyata. Nah berikut adalah rintangan yg sudah dan akan gw lalui ke depannya:

1. Memulai pembicaraan yg sulit sama Congkipe
Sebut aja temen gw yg satu ini namanya Congkipe. Dia adalah guru nari dan dia ngebuka kursus nari pertama di kota kampret ini. So far pemasukan hidup dia bergantung seluruhnya sama kelas nari yg dia buka.

Tahun lalu kita "supposed to be" sohib nari/partner kerja untuk buka kelas/workshop bareng. Tapi setelah banyak hal bangke yg terjadi tahun lalu plus gak berasa ada chemisty juga di antara kita, gw memutuskan untuk go solo, bakalan mulai ngajar nari lagi, etc.

Akhirnya setelah melewati berbagai tangisan dan kekhawatiran akan reaksi Congkipe, Selasa kemarin gw ngomong ke dia kalo gw decided untuk ngajar nari tahun ini yg rencananya akan gw mulai around end of Feb atau awal Maret.

Tujuan obrolan itu tentunya bukan untuk minta ijin dari dia, tapi untuk kesantunan dan moral etik berbisnis supaya ke depannya bisnis nari gw gak dituduh semata-mata mau matiin bisnis orang. Juga gunanya agar menghindari kemungkinan gue diarak massa ke tengah jalan.

Lalu bagaimana dengan reaksi si Congkipe setelah gue ngomong? Berikutnya dia tampar gue dg selembar cured meat khas Spanyol yg disebut jamón terus rambut gue diguyur pake jus jeruk.

Gak deh.

Yah, reaksinya dia gak teriak histeris sih karena gw ajak dia ngobrol di tempat nongkrong yg agak elegan. Gue juga udah merangkai kalimat dan latihan ngomong satu hari sebelumnya. Jadi ya gue ngomong apa adanya. Pokoknya yg penting-penting aja dan gak bawa-bawa hal personal supaya semuanya kelar se-profesional mungkin.

In the end, gw berasa lega tapi juga capeeekk banget mentally karena untuk berurusan sama hal ini (dan orang ini) really does suck A LOT of my energy. GOSH.

2. Menjual nama "Yunita Dewiyana" untuk promote kelas nari
Seperti yg sudah gw mention sebelumnya, gw harus ngajar nari atas naungan nama gw sendiri. Anjir, sounds cool banget gak sih? 10 tahun yg lalu gw gak akan pernah nyangka kalo gw, gadis Jakarta yg keturunan Bangka ini bisa ngajar nari di Spanyol!

Gw kebayang gitu bikin poster pake foto nari yg kece lalu diikuti dengan tulisan:

"Mau lebih percaya diri dalam mengekspresikan tarianmu? Ayo, gabung sekarang ke kelas tari tortor bersama Yunita Dewiyana!" 

(pake nada ngomong kayak iklan-iklan layanan masyarakat yg ngajak warga setempat untuk menggunakan pil KB - "Dua anak CUKUP!")

Gw tau dengan pengalaman gw yg sudah melanglang buana kesana-sini dalam hal competing, ngajar, dan juga ambil workshops dari international teachers, gue punya nilai jual yg cukup tinggi. Ceritanya kan gue internesyenel dancer gituh.

Tapi gw beneran gak comfortable dan gak yakin sama wording yg harus dipakai dalam menjual diri gw ini. Gue gak mau come accross jadi orang yg kayak full of herself banget (a.k.a manusia congkak). At the same time, kalo gw terlalu merendah juga pasti akan mengurangi daya tarik masyarakat buat ambil jasa nari gue.

ARGH, anyway otak gue dari kemarin panik sendiri mikirin ini! Dan kalo ada dari kalian yg mau bantu dalam merangkai kalimat/kasih feedback buat konten di personal website gw nanti, KASIHTAU GUE PLIS!

3. Mengubah website YOUR 3 AM CALL (Y3AC) menjadi personal web gue for dancing purposes 
Gue belom pernah introduce apa itu Y3AC ke kalian semua, para pembaca setia blog ini. Intinya pas tahun 2016 gw launched writing project pertama gue in English, which is ya Y3AC ini. Gw gak ada goal super wow seperti mau dapetin 1 juta likes/followers, bikin jadi buku best-seller or whatever.

Gw cuma start itu semua karena gw butuh denger cerita hidup orang-orang lain diluar sana yg trying hard everyday buat do something that they love, something that they're passionate about. Gue mau tau proses jatuh bangun mereka kayak apa and so on. Makanya isi blog itu adalah hasil interview gue sama temen-temen di sekitar gue.

It went well awalnya, gue bener-bener learnt a lot banget dari writing project itu. Tapi sejak gw pindah ke Spain, lama kelamaan project itu terbengkalai. Dan berhubung gue butuh bikin personal web buat ngajar nari, akhirnya mau gak mau bulan ini gw harus memusnahkan website Y3AC.

Dari minggu ini gw sibuk ngurusin semua pretelan Y3AC - mulai dari pindahin konten yg ada ke laptop sampai yg paling susah... kirim email thanks and farewell buat semua contributors yg pernah ngebantu gue ngerjain Y3AC.

Gw inget bgt pas gw nulis email and kirimin emailnya ke semua contributors, gw langsung menitikkan air mata. Tapi gak lebay sih nangisnya.

Yg pasti muka gw masih cakep karena nangisnya agak elegan gitu, terisak-isak sedikit doang sambil pasang tampang sok cool. Cuman ya gw gak nyangka bahwa gw akan se-emotional itu.

Logikanya kan ya emang mending ditutup aja project ini kalo emang terbengkalai. Apalagi udah ada urusan lebih penting (dan berduit) yg nunggu di depan mata. Jadi lu emang being emotional for what sih, Yuyun?

Pertanyaan itu mengganggu batin gue dari awal minggu sampai detik ini. Dan usut punya usut, sepertinya semua ini berhubungan sama the feeling of being loser. 

LOSER?

Entah label ini dimulai dari diri gw sendiri atau orang-orang di sekitar, tapi gw sering banget berhadapan dengan label or the feeling of being "loser".

Dalam kamus gue "loser" adalah orang yg cuma bisa ngomong doang, mimpinya gede tapi aksi nyatanya kosong melompong. Loser di mata gue mungkin bisa dideskripsikan melalui kalimat emas yg sering diucapkan bokap saat ngeliat orang yg kerjanya males/gak beres-beres/etc:

"Jadi orang tuh jgn kayak orang berak tapi ceboknya gak bersih. Kalo ngerjain sesuatu jgn setengah-setengah!" (percaya atau tidak, bokap gw sering bgt ngomong kalimat ini, goshhh)

Anyway, saat gue akhirnya harus mengakui bahwa Y3AC, writing project pertama gw yg berbahasa Inggris ini gak bisa dilanjutin lagi, deep down gue ngerasa kayak loser banget!

Karena sekarang cibiran orang-orang yg pernah gw dengar saat mereka mempertanyakan 'wtf is going on sama future-nya Y3AC' langsung non-stop berkumandang di otak gue.

As if dg tidak berlanjutnya Y3AC ini, gue ngerasa seperti meng-iya-kan semua cibiran mereka... bahwa ya mungkin di sepanjang hidup gue ini, semua mimpi, ide gila, dan projek-projek gw ke depannya gak akan ada yg pernah kelar?

Selain itu, hal ini jadi makin sensitif karena gw juga sekarang lagi working on first writing project gw dalam bahasa Indonesia.

Belom banyak yg tau ttg hal ini dan sampai sekarang gw juga belom siap launching project ini gede-gedean karena salah satu alasannya adalah gue takut kalo ini akan bernasib sama dg Y3AC dan ujung-ujungnya mendapat cibiran lagi - worst, cibiran dari orang-orang terdekat.

Jujur, gw skg kayak lagi ada big battle antara: negative self-talk VS akuh yg lebih baruh di duarebusembilanbelash. ARGHHH...




Wahai kalian yg punya start-up or pekerja seni diluar sana, apa kalian juga pernah ngerasain feeling kayak gini? Apa ini emang realita dari creative journey kita? 

(share pendapat/experience kalian lewat DM, WhatsApp, surat lewat burung merpati atau apapun karena gue butuh teman berdiskusi kalo kalian pernah ngerasain ini)

Jujur sih gue masih belom ada closure dari semua feeling yg udah gw jelasin di atas.

Tapi one thing yg bikin gw mungkin sedikit lebih waras dan bisa mengasihi diri sendiri adalah berusaha untuk menganalisa semua label yg menempel di otak gue. Misalnya:

"duh gue emang dari sananya udah males."
"gue cuma jago bikin ide, tapi realisasinya gak bisa."
"gue emang ya gitu orangnya, gak begitu persistent."
"gue emang susah fokus. makanya mesti kerjain banyak hal biar gak bosen."
"gue emang gak pinter/gak jago networking/ngurus duit/etc."

and whatever label lain yg lebih sesuai sama situasi kalian.

Menurut gue, semua label yg gue sebutin di atas bukan lagi tentang jawaban bener atau gak. Tapi yg paling penting dari semua itu adalah gimana kita menganalisa deeper stuff/feeling yg ngumpet di balik semua label yg nempel di otak kita.

Di case gue sih biasanya kalo gue bilang "Duh gw males bgt ngerjain X, Y, Z", itu bukan semata-mata hanya karena "gue orangnya pemalas." Lebih dari itu, setelah gue analisa dg seksama ya gue sebenernya TAKUT. Takutin apa exactlynya sih gue gak tau.

Mungkin gue takut di-judge orang-orang terdekat yg nantinya malah bikin ekspektasi/hopes gw ke mereka ancur dan jadi kecewa bgt sama mereka? 

Mungkin gue takut buat gagal? Atau mungkin takut sama exposure of fame kalo ternyata berhasil di bidang yg gw kerjain?

Apa mungkin gue takut sama kritikan orang mengenai karya gue yg sering meng-ekspos vulnerability dan insecurity gue?

Mungkin juga gue takut kalo ternyata gue jadi harus kenalan sama sisi lain dari diri gw yg selama ini gw paksa untuk ngumpet? 

Entahlah. 

Yg pasti menurut gue, the next time you guys feel the urge buat labeling yourself "pemalas" or "can't do this or that", akan lebih helpful for you guys buat menganalisa deeper stuff/feeling yg ngumpet di balik semua label yg nempel di otak kita ini. 

Dan guna dari analisa itu bukan untuk bisa selalu dapet jawaban yg pasti, tapi lebih untuk practice self-love dan not being too harsh on yourself.

Anyway, udah ah... gue laper dan mau makan siang.

So, inti dari postingan ini?

1. Gw super excited. I know that I'm on the right track, I'm doing the right thing yet at the same time gue lagi mentally exhausted sama semua upcoming projects yg ada di depan mata!

2. Sedang ada di big battle antara: negative self-talk VS akuh yg lebih baruh di duarebusembilanbelash

3. Mau start discussion ttg hal ini dan mau dgr cerita/pengalaman lain, terutama dari teman-teman pekerja seni lainnya diluar sana.

BHAYYYY!

Tuesday, January 29, 2019

Tante Yuyun dan Xiaomei

"Sometimes kita mikir pas kita tinggal diluar negeri kita bakal explore other culture. Padahal most of the time end up kita learning and explore more about ourselves di tempat baru kita."

Yah kurang lebih begitulah yg temen gw ucapin saat beberapa hari lalu kita telponan untuk bertukar kabar tentang hidup.

Dan setelah gw renungkan baik-baik, tahun 2018 adalah tahun dimana gw diharuskan untuk menghabiskan banyak waktu sama diri gw sendiri - jobless while hating the new city that I live in and being surrounded by many ignorant neighbors.

Berhubung hidup gw berubah cukup jomplang dibanding dengan tahun sebelumnya, lambat laun gw diperhadapkan with this only option: look deep inside myself and ask what I really want in life, what my Creator wants from me - at least selama gw stay di Spain.

Tapi momen untuk introspeksi diri itu gak muncul dengan elegan seperti yg mungkin ada di bayangan kalian. For sure, gak terjadi di bawah sinar matahari atau rindangnya pepohonan terus dilanjutkan dg gw yg langsung meditasi atau baca buku self-help.

Tapi semua itu diawali saat suatu pagi, gw marah cuma karena hal sepele bgt dan akhirnya saat gak ada siapapun di rumah, gw nonjok pintu kamar kucing gw berkali-kali macam Nene, temen Sinchan, yg kalo marah lgs nonjokin boneka kelincinya.

Untungnya kucing gw lagi nongkrong asyik di sofa sama anjing gw. Kalo gak, mereka mungkin bingung kenapa gw tiba-tiba kalap kayak tante-tante jahat di sinetron Indosiar.

Setelah gw puas menumpahkan amarah gw ke pintu kayu yg tak berdosa itu, gw akhirnya stop mukulin pintu karena dua hal. Pertama, tangan gw sakit. Kedua, di tengah tangan gw yg udah sakit, gw akhirnya tersadar, "Wow, this is not me. I don't know who I am anymore."

Pagi itu, setelah puas mukulin pintu kayu, gw berusaha menenangkan diri di sofa bersama binatang-binatang imut di rumah dan memutuskan untuk gak lari lagi dari diri gw sendiri.

- 6 bulan kemudian -

Masih jobless, masih membenci kota yg sama bernama Seville dan masih dikelilingi oleh tetangga-tetangga ignorant yg rasis.

Bedanya selama 6 bulan terakhir ada satu hal terbesar yg gw pelajari:

"I need to take care of myself first (not in a selfish sentiment) untuk survival. Lebih dari itu juga biar gak jadi toxic buat orang-orang di sekitar. 

Karena gw percaya kalo kita gak happy/content sama diri kita sendiri, and if we're too scared to look within ourselves, we'll always blame and envy other people for the rest of our lives."

Pernah gak berhadapan sama para tante/om yg cuma bisa kritik hidup orang?

99,8% populasi di Indonesia pasti pernah mengalami fenomena ini, terutama di saat perayaan-perayaan besar seperti Xincia yg sebentar lagi hadir di pelupuk mata.

"Kamu gendutan?"
"Kamu kapan punya pacar/kapan nikah/kapan punya anak?"
"Kok kamu sekolah tinggi amat? Nanti laki-laki takut loh, gak ada yg mau sama kamu."

ANYWAY kalian tau lah tipikal pertanyaan-pertanyaan gak bermutu yg sebenernya bikin kita pengen pindah aja ke Mars.

Tapi berhubung kita ini sobat miskin dan menjunjung tinggi adat timur akhirnya mentok deh, kita cuma bisa senyam-senyum-nahan-berak-sembari-menjaga-kesantunan-diri di depan para tante dan om yg mungkin adalah sahabat kolik/siblings ortu kalian.

Nah menurut gw, pertanyaan-pertanyaan gak bermutu itu terjadi akibat banyak faktor.

Tapi salah satu alasan yg gw yakini adalah pertanyaan macam itu dilontarkan dari orang yg insecure/takut/males untuk merubah diri mereka.

Dan tujuan dari pertanyaan gak mutu itu dipakai untuk mengalihkan fokus ke-taik-an yg terjadi di hidup mereka dan membuat orang lain merasa hidup mereka jauh lebih bermasalah (baik yg nanya itu sadar atau gak atas tujuan tersebut, well itu urusan lain).

Kalimat singkatnya:

You make other people feel shit, so that you don't feel shit alone!

Untuk memudahkan kalian menyerap informasi yg agak abstrak ini dan membiarkan imajinasi liarmu berlari bebas, berikut adalah contoh case study yg baru saja gw karang beberapa menit yg lalu.

- CASE STUDY: Tante Yuyun & Xiaomei - 

Let say gw jadi tante namanya tante Yuyun.

Di saat acara Xincia gw melihat keponakan gw bernama Xiaomei, wanita muda belia berprofesi sebagai dokter bedah otak, berbadan semok dan berumur 35 tahun.

Masa depannya cerah karena tahun depan Xiaomei bakalan dikirim NASA untuk buka praktek bedah otak pertama di planet Mars. Xiaomei tidak berencana untuk menikah, namun dia bahagia dan puas untuk merajut hidup bersama team NASA di planet Mars.

Nah 20 tahun lalu, gue (tante Yuyun) sebenernya punya cita-cita setinggi Xiaomei. Tapi di masa itu jarang ada pilihan bagi wanita untuk bisa menjenjang pendidikan/berkarir seperti generasi Xiaomei.

Karena gw galau dan gak betul-betul introspeksi ke diri sendiri tentang hidup macam apa yg mau gw jalani, akhirnya gw menyerah pada cita-cita gw dan menikahi lelaki bernama Syomaibabi.

Alasan terbesar gw menikahi Syomai adalah tetangga/kakek-nenek/ortu/temen-temen kantor/abang sayur/semua orang udah nanyain terus kapan gw nikah dan punya anak.

Tidak tahan akan tekanan sosial yg menimpa, ku jual lah mimpi ku yg tinggi untuk menikah dg Syomaibabi.

Syomai memang kaya raya, namun kelemahannya terletak pada kedua bola mata dan alat kelaminnnya. Syomai tidak tahan melihat perempuan cantik dan alat kelaminnya selalu "main" kesana kemari.

Walau ia bertanggungjawab dan selalu membelikan tas Hermes tiap bulan, pernikahan gw selama 30 tahun ini sangatlah shit. Lebih shit lagi karena gw juga nyesel gak berjuang mengejar cita-cita gw yg dulu serupa dengan Xiaomei.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Untuk introspeksi ke diri gw dan mengakui bahwa ada penyesalan besar di hidup gw selama berpuluh-puluh tahun ini akan sangat menyakitkan.

Dan kalau gw admit kesalahan yg gw lakuin di hidup gw ini, mau gak mau gw harus cari solusi untuk merubah situasi ini dan of course, SUSAH! Gue kan udah tua gitu loh. Ngapain juga berubah???

Jadi insetad of memulai komunikasi yg normal, sehat, bertukar cerita dan belajar dari hidup orang lain... gueee, tante Yuyun yg insecure dan terlalu takut untuk menginstropeksi diri akhirnya melontarkan pertanyaan-pertanyaan berikut ke Xiaomei saat perayaan Xincia:

"Loh Xiaomei, kamu gendutan? Gimana ini mau kerja di planet Mars?! Nanti badan kamu muat gak masuk ke roket?" (padahal tante Yuyun iri sama badan seksi Xiaomei).

"Ih, Xiaomei, temen-temen kamu tuh udah pada nikah dan punya anak loh. Itu temen SD kamu aja baru lahiran kembar empat. Skg dia mau nambah kembar dua lagi nih, katanya terinspirasi dari kucing liar deket rumah dia yg beranak terus. 

Kamu yakin masih mau buka praktek bedah otak di Mars tanpa memiliki keturunan di Bumi?" (padahal tante Yuyun iri sama kerjaan Xiaomei yg sangat bergengsi)

Dan Xiaomei pun tidak peduli setan dg apapun yg tante Yuyun katakan karena dia lebih mengenal dirinya sendiri luar dan dalam dan dia tau betul apa yg dia inginkan di hidup ini.

Namun itulah konsekuensi hidup yg Xiaomei pilih karena dia tidak ingin menjalani hidup yg selalu didikte orang-orang sekitarnya.

Ending cerita dalam case study ini?

Tante Yuyun tetap galau dan bitter sama hidupnya (dan ngatain orang-orang lainnya). Dan Xiaomei akhirnya buka praktek bedah otak di Mars sambil mengucapkan kalimat ke tante Yuyun,

"Adios, tante! Zero fucks given to you."

- FAEDAH CERITA -

Inti dari postingan ini adalah:

1. Intrapersonal skills itu sangat penting. Karena kita perlu latihan untuk bertanya ke diri sendiri ttg hidup kita, lalu belajar sabar dan jujur untuk dgr jawabannya. Otherwise kita bakalan kayak tante Yuyun yg cuma bisa ngiri/bete/nyalahin orang lain sepanjang hayatnya.

2. Dan kalo kita jadi kayak si tante Yuyun, yg ada kita cuma bisa jadi "racun" buat orang-orang di sekitar kita - yg cuma bisa nyampahin hidup orang karena that's the easiest and cheapest thing to do to make our self-esteem better; make other people feel shit so that you don't feel shit alone!

3. Tapi, jadilah Xiaomei karena hasilnya itu membawa berkat bagi banyak orang dan gak murahan. 

Emang proses yg diperlukan itu gak mudah. Konsekuensi untuk hidup sesuai seperti yg Creator kita mau dan yg kita mau tuh prakteknya banyak nangis dan peluh-peluh keringat bercampur darah.

Mungkin versi "hidup sesuai yg Tuhan mau" di mata orang tua kalian ya jadi pendeta/pelayanan di gereja full-time atau kerjaan apapun yg menurut orang di sekitar kalian jauh lebih "layak" dipandang.

Tapi nyatanya banyak orang yg ngejalanin realita yg jauh berbeda dari itu semua.

Anywayyy...

walaupun kita mungkin pengen banget pindah ke Mars dan menjauh dari komentar-komentar keparat itu, pada akhirnya semua respon/reaksi/celotehan pedas yg kita dengar itu akan selalu ada dan pastinya diluar kontrol kita.

The only thing that we could do is to keep knowing ourselves even more and being as honest as possible without being harmful to others. 

Semoga di tahun 2019 ini kita semua punya courage untuk jadi Xiaomei dan tidak berakhir menjadi tante Yuyun.


"Being authentic comes with a price... You can’t be everything to everyone, but you can be something to some people." - Thanks for the words, Kris!

Wednesday, July 25, 2018

Rumah Rusuh

Akhirnya anak kucing dan anjing gw tenang sejenak, menikmati zen kehidupan ini.

Sekarang waktunya gw menepati janji bagi para pembaca yg penasaran mengenai penghuni baru di rumah gw. Gw sebenernya mesti belanja nih beli daging, tapi gw lagi nunggu sepeda sewaan deket rumah muncul kembali. Jadi berhubung gw agak terburu2, gw akan cerita dengan format Q&A. 

Semoga kalian menikmati bacaan ini di kala macet (untuk jam Jakarta) atau menikmati liburan summer sambil leyeh2 di rumah (untuk jam Spanyol). 

Q: "Kok bisa sih kepikiran mau piara binatang?"
A: "Sebenernya udah pengen piara dari taun lalu, tapi saatnya tidak tepat. Akhirnya pas pindah ke Seville, kita dapet rumah yg ukurannya cukup buat piara binatang. Plus dapet ijin juga dari landlord nya. Yauda deh, akhirnya kita berkomitmen memelihara dua makhluk kucrut ini."

Q: "Ciee, latihan untuk punya momongan ya?"
A: "GUNDUL MU!"

Q: "Ih galak."
A: "Gw ngurus bayi kucing yg imut dan gak minta nenen ke gw 24 jam aja udah pengen gw banting rasanya. Gimane gw ngerawat bayi manusia? Bisa gw jual buat tiket keliling eropah."

Q: "Oke deh. Terus nama mereka siapa?"
A: "Yg anjing namanya Ahmad Dhani. Yg kucing namanya Mulan Jameela."

Q: "Akhh bisa aja. Udah ah jgn becandain aku. Seriusan namanya siapa?"
(sumpeh ini kok jadi monolog menggelikan beginiii)
A: "Yg anjing namanya Nicolino. Yg kucing namanya Magdaleno."

Q: "Hmm, nama yg cukup ajaib. Apa sejarah dibalik nama mereka?"
A: "Kalo nama si anjing ada unsur Itali nya gitu karena yg nemuin si anjing ini org Itali. Nah kalo nama si Magdaleno ada unsur agamis nya karena terinspirasi dari bunda Maria. 

Gak deh. 

Nama kucing nya kayak nama bunda Maria karena yg dulu tukang jagain si kucing namanya Magdalena. Berhubung nih kucing cowok, yauda ajah dinamain Magdaleno."

Q: "Mereka berantem gak?"
A: "Gak pernah sih, alhamdullilah. Cuma ya kejar2an aja gitu. Rumah udah kayak pasar Kosambi, rame ruwet banget. Sofa gw berantakan abis sekarang, kayak abis dipake buat tindakan asusila dua sejoli yg akhirnya bertemu setelah 10 tahun berpisah."

Q: "Gimana caranya bikin mereka gak berantem?"
A: "Pertama sih gw doa banyak2. Yg ini beneran. Gw percaya dengan kekuatan doa karena dari dulu gw mau adopsi binatang juga selalu doa biar Tuhan pilihin binatang yg sesuai sama kemampuan kita ngerawat mereka. 

Cuma skg doa gw udah kayak emak2 post-partum: 

"Anjir, kenapa gw mau nambah adopsi kucing lagi sih... Apakah ini kekhilafan hamba semata? Tuhan tolong bikin anak kucingnya tobat, gak bangunin gw pagi2. Atau tolong bikin kucingnya udah langsung gede umur 10 tahun gituh biar gak demanding."

Selain berdoa, saya juga membaca banyak artikel hewan. Lalu bereksperimen dg berbagai cara, spend time sama kedua makhluk ini, coba observe body language mereka and so on. Terus juga ya pake insting dan mendegar wejangan suami."

Q: "Wah emang binatang punya personaliti kayak manusia ya?"
A: "Iya. Manusia kan ada yg kampret, ada juga yg gak. 

Binatang juga mirip kayak gitu. Kalo anjing gw sih bener2 sopan banget. Ada bandel nya dikit lah, contohnya kadang suka makan taik. Najis kan? Tapi over all dia sangat mudah diatur. 

Nah kalo kucing gw sih kayak titisan siluman. Maklum, dia juga kan baru umur 4 bulan. Jadi ya energi nya lagi membludak dan suka bertindak semaunya. 

Dia bisa tau loh momen2 kapan buat bikin kita marah, tapi marah nya dg dosis yg pas gitu... gak sampe marah yg akhirnya ngebuang dia ke tong sampah. Ini contohnya: 

Moment langsung sok imut selama 30 menit
Dia udah bisa merasakan aura mamak nya mau buang dia
akibat kelakuan dia di pagi hari yg selalu repotin mamak.

Muka sok lugu tapi nyolot tiap berbuat kesalahan 
Ini muka klasik si kucing kalo abis jatohin laptop suami, 
gak sengaja cakar gw sampe berdarah, and so on.

Q: "Kalo ribet, kenapa pengen pelihara kucing?"
A: "Nah itu juga pertanyaan gw sih. 

Jujur waktu minggu pertama adopsi dia tuh kek agak nyesel gitu. Karena gw gak nyangka kalo punya anak kucing tuh sangat menuntut. Kayaknya dulu pas gw piara kucing jalanan di komplek gak pernah seribet kucing yg sekarang......... 

Cuma ya awal mula gw adopsi karena pgn cari temen main buat si Nico. Dan dia juga emang cute2 cerdik gitu sih. Cuma gw gak tau dia secerdik ini. Contohnya adalah:

Sebelum gw adopsi, nih kucing dirawat di rumah seseorang yg emang rela jagain kucing2 yg tak berdaya sampai mereka akhirnya sehat dan siap untuk diadopsi. So, gw dan suami datang lah mengunjungi dia seminggu sekali dan spent time kira2 sejam. Total kita ngunjungin dia 2x. 

Tiap kita main emang dia selalu takut dan butuh almost 30 menit sampe dia mulai trust dan main sama kita. Cuma pas kedua kali kita kunjungin, nih kucing bener2 lamaaaaaa banget mau main sama kita. Muka si Albert juga kek yg udah males pgn nampol nih kucing. 

Alhasil gw bilang lah ke Albert, "Kalo kayak gini mah kita gak adopsi si Leno juga gak apa."

Abis masa punya kucing cuma buat numpang tidur, makan sama eek doang di rumah? Itu mah namanya istri/suami simpenan dong.

Kan mau juga punya kucing yg bisa diajak bersahabat dan berbagi hidup bareng sama kita. Tapi kalo misalnya kita mau adopsi, mesti mikirin tanggal yg tepat soalnya bulan Agustus kita liburan 2 minggu. Belom lagi kudu adaptasi sama anjing kita, etc. 

EHHHHH believe it or not, nih kucing kampret yg daritadi nya gak mau main sama kita, langsung tiba2 lompat ke paha Albert terus diem, penuh sopan santun, dan menjaga martabat kekucingan nya. Terus pas Albert sayang, dia langsung mau dan sok manja gitu. 

Geli kan? Hahahha kek tau gitu dia lagi dalam pertimbangan mau diadopsi apa gak. Akhirnya gw bilang, "Anjir, yauda kalo gini mah kita adopsi dah."

EH gak lama gw ngomong gitu, si Leno langsung udahan acting dan berubah menjadi kampret lagi. Huahaa. Capek dah. 

Setelah momen itu, si orang yg jagain Leno nyaranin kita buat ambil dia within seminggu (which is mid July). Karena semakin lama si kucing di rumah itu, semakin susah kucingnya adaptasi ke rumah orang lain.

Yauda deh, seminggu setelah adopsi si Nico, kita adopsi kucing."

Q: "Wow, totalitas sekali. Kalo cerita bisa adopsi anjing gimana?"
A: "Yg ini agak sweet sih. 

Jadi pas kita decided buat adopsi dan direkomendasi ke salah satu organisasi binatang, datang lah kita ke festival anjing buat ketemu sama anjing2 pilihan kita. Nah, gw sama Albert punya 3 seleksi: pilihan gw, pilihan Albert, terus pilihan cap cip cup. 

Yg terakhir ini gw pilih berdasarkan deskripsi anjing yg jarang dilihat menarik buat diadopsi. Yaude gw pikir kan kesian yeh, jadi kita kasih saja second opportunity. Kali aja kan kita sukak. 

Dan anjing itu pun bernama Nicolino. 

Singkat cerita pas kita nyampe ke festival anjing, si Nico langsung nendang kandidat lain dan manja2 ke Albert terus. Langsung connect gitu seperti ayah dan anak. Mantep yak?

Yaudah deh sejak itu Albert jatuh cinta. Gw sih mau adopsi Nico awalnya karena mau berbuat baik juga ke anjingnya. Plus, Albert juga udah cinta mati sama dia. 

Dan ternyata pas kita adopsi, gila cuy nih anjing kayak titisan surga. Baik, sopan, respectful. Cuma kurang nya ya kadang makan taik anjing lain aje. Sama agak kurang paham kalo gw ajarin trik. Maklum lah, anjing udah 2 taun kan ya. 

Padahal mah kalo ngerti trik macem2 kan lumayan bisa gw suruh dia nyapu, ngepel sama jemurin baju."

Q: "Kalo gitu si Mochi gimana dong? Masih sayang gak sama dia?"
A: "Masih lahhhh. Dan Mochi juga masih hidup. 

Sekarang dia tinggal di kebun bokap gw yg di Jonggol. Jauh lebih bahagia daripada jadi anjing komplek yg gak bisa lari kesana kemari. Sekarang Mochi banyak temen2, contohnya 2 kucing gendut, 2 anak anjing beserta ibu nya, dan kadang main sama kelinci juga. 

Awalnya gw ngerasa kayak mengkhianati Mochi sih... Cuma gw pikir yah jangan terlalu dilebih2kan seperti itu. Toh gw jamin anjing gak mungkin mikir selebay itu. Mereka will always be grateful pernah ada di hidup kita. Sama seperti gw juga selalu grateful punya Mochi dan anjing2 sebelumnya di kehidupan gw. 

Itulah roda kehidupan, kawan."

Definisi bahagia

Q: "Apakah perubahan dalam hidupmu sejak kemunculan makhluk2 ini?"
A: "Gak bisa bangun terlalu siang kalo suami gw lagi kerja di luar kota. Terus gw juga jadi sering jalan (mau gak mau) padahal disini lagi panas beutttt, summer kan cuy. Terus gw juga kalo mau pergi, harus cocokin sama jam jalan anjing gw. 

Serius deh, gw tau apa yg gw lakukan ini gak sebanding sama full time mum yg mendedikasikan hidupnya sama bayi manusia.

Tapi gw aja yg cuma punya 2 binatang udah capek bangun pagi mulu. Ini padahal mereka gak minta nenen, gak minta dimasakin macem2, gak nangis berontak di mall, gak  throw tantrum kek tai, dan gak bales ngejawab kalo gw omelin.

Kebayang gak buat ibu2 yg rela mendedikasikan diri nya buat membesarkan sesosok manusia?

Yg udah gede nya aja gak tau bakalan berguna bagi bangsa apa gak, bakal hamilin anak orang apa gak, dsb. Salut untuk ibu2 yg sedang berjuang merawat anaknya dan berusaha sabar untuk gak banting anaknya. 

Terima kasih ibuku yg sudah membesarkan aku sampai aku sebesar ini dan tidak melempar aku ke tembok."

Q: "Pelajaran apa yg kamu dapat dari binatang2 ini?"
A: "Banyak sih. 

Yg pertama ya belajar untuk mengontrol diri dan tegas. Binatang itu denger omongan kita karena baca energi, body language dan ketegasan dari suara kita. Kalo kita ngomong sambil teriak dan bentak2, tapi kita nya gak tegas, gak tegaan dan gak disiplin, yah ujung2nya binatang lu bakalan jadi asshole. Bakalan kayak anak2 tajir manja yg cuma berharap semua orang harus ikutin mau nya dia apa.

Kedua, belajar menghargai dan membagi waktu. Kalo gw tidak bisa mengatur waktu dg baik, kucing gw udah nangis non-stop karena gak dikasih makan dan kasih sayang tepat pada waktunya. Plus anjing gw pasti udah bakal berak or kencing dimana2 kalo gw terlalu telat ajak dia jalan."

Menghargai waktu
Dulu gw bisa eek dengan tenang sambil meditasi
Sekarang eek mesti buka pintu buat jaga anaq2
Lalu mereka juga kejar2an di WC sambil nongkrongin gw eek

Terakhir, belajar appreciate small things. Binatang selalu bisa teach kita ttg banyak hal: unconditional love, silliness, observing body language, being mindful, dan salah satunya ya buat live in the now. 

Contohnya binatang2 gw tau kalo mereka dicuekin. Kalo gw sibuk main hape pas kucing/anjing gw juga ngajak main, anjing gw bakal toel2 badan gw buat cari perhatian.

Nah kalo kucing gw sih cara minta perhatiannya agak brutal macam lagu yg dinyanyikan Ikang Fawzi: "Pak cik pak pak preman preman... hueeeeee yooow!!! Pak cik pak pak metropolitan... hueeeeee yooow!!!"

Ini link youtube buat lagu nya. 

Ini Ikang Fawzi
Cieee, otot nyah... Berminyak kayak gorengan cireng

ANYWAY... iyaah, kucing gw tuh kalo dicuekin bakal lompat ke punggung lu sambil kuarin cakarnya dikit. Sialan emang. Tapi intinya dia mau lu pay full attention. 

Nah kita sebagai manusia sering bgt kan judulnya mau pergi makan bareng sama temen/keluarga, tapi ujung2nya main hape (gw juga salah satu org2 kampret yg demen main hape) dan tidak live in the now.

Sebelum temen/keluarga lu lompat ke belakang punggung terus cakar muka lu to ask your full attention, ada baiknya kita bertaubat dan sadar diri.

Beautiful things happen when you pay attention to small things in your daily life."

Q: "Apa saran mu bagi orang2 yg berencana pelihara binatang?"
A: "Pertama, camkan di otak anda bahwa memelihara binatang itu bukan cuma sekedar mereka imut doang pas masih kecil, terus udah gedenya kalian buang. Binatang itu makhluk hidup yg butuh your full care and commitment (money and time) sampai mereka meninggalkan dunia ini. 

Plus, kalo bisa juga cari binatang dari tempat adopsi dan jangan beli dari pet shop. Banyak banget binatang yg terlantar di bumi ini dan binatang2 itu banyak yg disuntik mati kalo akhirnya udah kelamaan gak di adopsi di tempat penampungan. 

Kelihatannya emang nothing sih untuk adopsi satu atau dua binatang dari sekian juta binatang yg terlantar di bumi ini. Tapi for them, what you do means everything :')

Kedua, edukasi lah diri anda. Dan investasi waktu buat observe tingkah laku, personaliti, dan body language binatang lu. Binatang yg biasanya gak bisa dibilangin itu bukan karena mereka tolol. Tapi karena pemilik nya yg gak becus ngedidik binatang nya. Intinya binatang itu adalah refleksi cara didikan anda kepada binatang tersebut. 

Ketiga, seperti yg sudah gw bilang di atas... pelihara binatang itu experience yg bisa ngajarin kita ttg hidup. Jadi kalo akhirnya kalian mau pelihara binatang, coba mikir juga apa dampak nya ke hidup lu. What is it telling you about your personality? Ttg cara ngedidik/ngerawat antara lu sama pasangan lu? And so on. 

Piara binatang emang gak bisa disamain sama piara bayi manusia. 

Tapi kebayang gak kalo baru miara binatang aja misalnya lu udah ribut cekcok gak jelas sama pasangan lu? Misalnya lu ribut sama pasangan cuma karena lu mau ajarin anjing lu bisa masak, tapi pasangan lu mau anjingnya bisa berhitung aljabar dan mengkalkulasi keuangan rumah tangga? 

Intinya hal2 kecil kayak gitu bisa dan pasti terjadi

Konyol kan kalo misalnya lu decided punya anak cuma karena capek dengerin pertanyaan orang2 yg pressure lu punya momongan? Padahal mah lu nya sama pasangan pengennya punya anak siluman, atau mungkin belom siap secara money, batin, dsb.

Nah sama konyol nya kalo lu punya binatang cuma karena ngeliat org2 di sekitar lu juga piara binatang, keliatannya lucuk, bisa jagain rumah (bayar satpam aja ngapah), and so on. 

Intinya, udah banyak manusia dan binatang yg ditelantarkan yg akhirnya merugikan makhluk bumi lainnya. So, jangan jadi manusia yg cuma bisa nambah jumlah populasi manusia/binatang di dunia ini secara tidak bertanggung jawab."

Q: "Wow, kamu bijak sekali. Pasti banyak deh yg mau jadi sahabat mu."
A: "Oke, terima kasih."

Menikmati zen kehidupan siang ini

Saturday, March 31, 2018

KEONG DARAT

Inget gak dulu pas masih kecil kan sering tuh ditanya, "Adik manis, nanti sudah besar mau jadi apa?"

Gw sih gak pernah ya dipanggil "adik manis" seperti itu. Biasa yg nanya gw sih cuma si kak Ria Enes aja bareng si Susan. Kalo lu gak inget, berarti lu keluarga tajir yg mampu sewa Indovision atau lu lahir di tahun nya Britney Spears. Anyway... mari bernostalgia sejenak disini.

Jawaban lugu gw mengenai cita2 pastinya gak jauh dari jawaban, "Aku mau jadi astronot dan juga pramugari." Tapi akhirnya gak jadi astronot karena nilai fisika gw sangat hina. Dan juga ga jadi pramugari karena harus tinggi semampai gitu kan yah. 

Akhirnya pas udah gedean, gw bercita2 mau jadi diplomat atau tour guide (anjir, jomplang bgt gak sih? haha). Dan tiap tahunnya cita2 gw selalu berubah2 macam bunglon. 

Anyway, kalo ditilik lagi semua cita2 gw itu ada pattern nya. Pattern nya: mau hidup di mars. Selain itu pattern gw adalah selalu mau traveling atau coba2in hidup di negara lain.

Akhirnya waktu SMA 1 gw memutuskan buat coba apply ke SMA di Taiwan. Alasannya karena murah dan banyak temen2 sekitar gw yg sekolah kesana. Saat itu gw cuma mikir yg penting gw mau keluar dari Indo, cobain hidup diluar. Ternyata tekad gw tidak sebulat itu karena perkara ini.

Menjelang akhir SMA, tekad gw semakin bulat untuk belajar keluar negeri. Banyak bgt pilihan sampe akhirnya diputuskanlah untuk pergi ke negeri kangguru. Dan jujur tekad bulat gw juga akhirnya muncul karena putus cinta. 

Gak ngerti lagi gimana cara buat move on dan saat itu rasanya terlalu pedih untuk hidup di Jakarta (adik manis ini mahal ya buat move on kudu pindah negara. jangan tampar aku, papah).

Bulan Juni 2010, sampai lah gw di kota Perth, Australia. Saat menginjakkan kaki di bandara, gw langsung mikir:

1. "Anjir, ini bandara apa gudang pabrik? Jelek bener kotak2 biru begini."
2. "Shit, semua orang ngomong Inggris. Gw beneran pindah negara. MATIK."

Dan selama di Perth sekitar 7,5 tahun, banyak banget gejolak kehidupan antara bisa stay di Aussie apa gak. Kalo gw gak bisa stay gw juga gak mau idup di Jkt lagi. Tapi kalo gw stay di Perth juga rasanya mati gaya bener.

Singkat cerita, Tuhan menendang gw ke Spanyol karena sang suami mau ngambil master di Madrid. Spanyol? What the heck? Itu apa?

"Gw cuma tau Spanyol karena gw ikutin bola," ujar semua pria yg berbincang dengan ku.

ATAU respon satu ini yg paling mematikan dari nyokap gw...

Tante mattoha: "Oh kamu tinggal di Spanyol sama Albert. Pake bahasa apa? Inggris ya?"
Adik manis: "Pake bahasa Spanyol, ma. Tapi ada yg bisa ngomong Inggris juga."
Tante mattoha: "Oh. Spanyol tuh dimana?"
Adik manis:"Di Eropa." (jawaban aman)
Tante mattoha: "Oh iya, iya... Di Inggris yah itu."
Adik manis: "Bukan ma, itu... (akhirnya lelah) Iya, yaudah di Inggris, ma"
Tante mattoha: "Iya kamu tinggal di Spanyol ya skg... di Inggris."

EAAAAK... seru kan?

Kalau kalian terbingung2 Spanyol itu dimana, kalian tidak sendiri. Gw aja pas awal2 ngobrol ama laki gw, gw nanya juga kan sama dia Spanyol tuh dimana. Terus pas gw nunjuk peta dunia, gw nunjuk nya peta Amerika Selatan donggggg. Zuami zaya zangat KZL (maap, knowledge geografi saya sangat kritis).

Mari lompat ke masa sekarang, dimana gw bukan lagi berada di Madrid tapi di kota Sevilla (masih di Spanyol juga, teman2) dan berada dalam situasi sedang mengetik postingan ini sambil mikir mau stop ngetik buat bikin hot chocolate dulu atau gak karena gw lafar.

Di masa sekarang ini juga adalah masa yg cukup absurd untuk gw. Karena setiap pindah ke tempat baru, otak gw selalu mengawang2 antara excited dan worry sama masa depan. Antara kangen sama temen2 lama tapi juga harus maksa diri cari temen2 baru.

Antara kangen sama Jakarta tapi juga berasa asing kalo udah disana. Dan antara bersyukur ada pilihan mau tinggal di negara apa, tapi juga bingung karena gak ada lagi definisi "rumah".

Dan definisi "rumah" ini ngingetin gw sama kotbahan gereja pas gw di Madrid.

Bulan Desember taun lalu adalah masa paling gunjang ganjing buat gw dan Albert. Karena kita literally gak tau bakal tinggal di negara mana, nasib visa gimana, dll. Padahal kita udah kepepet sama tanggal ijin tinggal di Spain yg udah habis saat itu.

Pilihan kita dari yg awalnya pede untuk yakin bisa stay di Madrid, berganti jadi ke London. Oh mungkin kita ke Jerman. Gimana kalo ke Melbourne? Atau mungkin... kita ke Jakarta lagi.

Seperti biasanya, tiap hari minggu gw pasti ke gereja... (kalo bisa bangun pagi, kalo gak tergoda makan churros pagi2, kalo gak tergoda bisikan iblis lainnya). Hari itu si Albert lagi gak ada di Madrid dan malam sebelumnya gw ada acara nari, dan baru sampe rumah jam 4 subuh.

Oleh karena kuasa YME yg menggelitik hati kecil gw akhirnya gw bisa bangun pagi dan nyampe ke gereja ON TIME padahal cuma tidur 4 jam. Sesampainya di gereja, otak gw udah mengawang2 karena gw ngantukkkk banget dan yg ada di pikiran gw cuma: "Siang makan apaan yak? KFC enak sih keknya."

Kotbah pun dimulai dan perasaan yg bisa gw deskripsiin pas dgr kotbah adalah... kayak kebantai main Street Fighter sama Tuhan tapi rasanya bahagia. 

Anggep aja gw lagi adu Street Fighter gitu sama Tuhan, gw jadi Chun Li terus Tuhan jadi Ryu. Abis itu gw ditendang berkali2 sama tendangan halilintar si Ryu. Baru 2x tendangan, darah gw langsung minus. (HAHA gw lebay, Street Fighter darahnya gak ada yg minus juga sih). 

Itu kotbahan paling menendang jiwa. Bikin sakit tapi bahagia. Sakit karena terlalu jujur, terlalu benar. Tapi bahagia karena SEMUA perasaan yg gak bisa gw ungkap pake kata2 akhirnya dijabarkan satu per satu sama Tuhan.

Makasih Tuhan sudah bimbing kaki saya ke gereja, bukan ke KFC.

Isi kotbahannya kurang lebih mengenai definisi "rumah" bagi orang2 yg hidupnya selalu berpindah2. Atau bagi orang2 yg ga bisa spend time banyak waktu sama keluarga dan orang2 di hometown nya. Ya... entah itu dari perantau, soldiers, expat, immigrants, dsb.

Karena bagi mereka definisi "rumah" gak punya satu arti yg gampang dijelasin. Definisinya jadi lebih kompleks karena hidup mereka yg selalu pindah2 kota/negara. Lebih tepatnya, mereka pun selalu ngerasa asing dimana pun mereka berada.

Dan arti keluarga pun juga jadi lebih kompleks. Karena keluarga mereka bukan lagi dalam artian keluarga sedarah. Tapi keluarga mereka bisa berupa temen2 seperjuangan atau komunitas di kota tempat mereka merantau.

Saat musim holiday, mereka yg diluar pun mungkin bisa pulang ke rumah dan ngunjungin keluarga asal mereka. Sayangnya mereka tetap merasa seperti orang asing. Dan itu adalah perasaan yg paling absurd, menakutkan, dan ironis. 

Terlalu aneh untuk diceritain ke keluarga sendiri, tapi terlalu sakit untuk diceritain ke orang lain.

Musim holiday mungkin dinantikan banyak orang. Karena itu saat dimana mereka balik bareng keluarga asal mereka. Tapi musim holiday gak selalu dinantikan semua orang.

Karena banyak orang yg harus balik ke keluarga asal mereka, tapi harus ngadepin realita bahwa mereka udah jadi orang yg beda dan gak semua orang bisa terima perbedaan itu. Atau sebaliknya... tempat mereka berasal udah banyak berubah.

Dan yg ada di otak mereka saat balik ya hanya memori lama tempat itu yg gak mungkin sama dg realita nya. Atau alasan mereka pergi jauh dari rumah dan keluarga nya mungkin karena mereka sendiri gak pernah diterima dari dimana dia berasal.

Sama seperti Tuhan Yesus saat...

blablabla dan pendetanya lanjutin pake ayat2 alkitab yg udah gak gw inget lagi. Berhubung gw gak mau ngarang kotbahan orang, gw gak bakal ceritain comparison nya sama Tuhan Yesus. Hahaha.

Akhir dari kotbahnya adalah semakin kita dewasa dan semakin kita berpindah2 tempat, kita harus belajar bahwa definisi rumah dan keluarga itu akan jadi lebih kompleks. Dan Tuhan ngerti semua perasaan campur aduk yg gak bisa dijelasin sama para perantau, karena Dia sendiri udah merasakan itu.

Lewat proses menerka2 apa definisi rumah dan keluarga, kita bisa belajar lebih bersyukur bahwa dimana pun kita berada Tuhan udah sediain "rumah" dan "keluarga" yg di customised untuk kebutuhan kita di saat itu. Entah itu kumpul2 arisan, temen2 kantor, grup belajar bahasa, tim main bola bareng, komunitas gereja atau komunitas taichi sekali pun.

Menurut gw, kotbahan hari minggu itu bener2 disiapkan Tuhan untuk bekal hidup gw di masa2 seterusnya. Karena Tuhan tau gw selalu linglung dan seperti mempunyai kepribadian ganda setiap pindah kota.

Bagi teman2 perantau, gw berharap postingan gw ini bisa menghibur atau bikin lega... karena finally you know that you're NOT the only one who feels this absurd feeling about home/family sbg perantau.

Dan bagi teman2 perantau yg kepercayaannya berbeda, maap cuma bisa pake perumpamaannya Tuhan Yesus. Soalnya kan gw denger nya di gereja. Kalau mau, bisa anda ganti objek nya sesuai dg kebutuhan anda. Yg penting postingan ini bisa bikin para perantau gak selalu merasa seperti alien dimana pun anda berada.

Dan bagi teman2 yg gak pernah merantau atau ingin coba hidup merantau, INGAT bahwa dilemma yg udah saya sebutkan di atas tergantung persepsi anda masing2. Bisa dilihat menguntungkan, tapi bisa juga dilihat merugikan. So...

Just enjoy the ride!

OH IYA.














Enjoy juga foto gw satu ini saat gw tinggal di Madrid.

Foto jepretan photoshop di tempat nonton banteng.
Ceritanya gw jadi matador.
Photoshop nya gak bagus tapi gak najis2 amat.
(Itu dia nilai seninya!)
Harga fotonya sama kayak harga tiket masuk = 10 euro. 
Zuami udah KZL karena  gw paksa beli.
Tapi gak apah, gw BANGGA sama foto ini.

Saturday, March 17, 2018

Panggung Sosial Media

Henlooo, sudah 6 bulan gw gak menyentuh blog ini dan gw selalu syok sama postingan2 gw sebelumnya yg selalu ada cita rasa absurd nya.

Anyway malam ini gw kembali lagi karena gw gak bisa tidur. Sebenernya di sebelah gw sedang tergeletak Nintendo Swtich dan gw bisa memilih untuk main Mario Kart daripada nge-blog (gila wehh Mario Kart sih ganja bgt, jgn coba mainin kalo kalian tetap mau menjadi seorang dewasa yg bertanggung jawab!) 

TAPI karena gw kepikiran hal yg SATU ini selama berminggu2, jadilah kita sampai di topik malam ini: kehidupan ala-ala di social media. 

Biasanya awal tahun ini gw selalu nulis update mengenai kehidupan gw di negara orang, penuh dg refleksi yg gw dapat dari tahun sebelumnya and apa yg gw hope dari tahun yg skg. Tapi menurut gw issue tentang social media jauh lebih genting daripada kabar update hidup gw. Kalau kalian mau dipuaskan dg gosip kehidupan saya, bisa ketik pesan PUTRI_BANGKA ke nomer 666. 

Instagram. Path. FB. Snapchat.

Dan mungkin masih banyak sosmed app baru lainnya. Gw inget waktu jaman gw masih wangi bunga melati, the only source orang bisa deskripsiin "image" se-orang Acing ya cuma dari testimonial di Friendster, which was 13 tahun yg lalu (matik, gw berasa tua bgt skg sumpeee). Itu pun gw harus ngemis2 ke temen2 sekolah, penjaga sekolah, embak kantin dg kalimat: "Eh, isi testi ttg aku dong." 

Dan kalo nama profile Friendster lu makin banyak tulisan angka dan simbol2 ajaib nya, itu menunjukkan betapa cool dan kreatif personaliti anda. Contoh: "cH!nk43v4" (akuilah aib mu anak2 generasi jaman Friendster).

Skg... banyak bgt cara untuk bisa deskripsiin image seseorang within 10 mins. Check semua info di FB, IG, IG story, etc. Lu gak perlu ketemu dan ngobrol sama orang yg bersangkutan. Cukup pake kekuatan jempol dan smart phone, lu udah bisa judge nih orang kayak apa.

At least, itu yg sering bgt gw lakuin. Tanpa pernah ngobrol face to face sama org itu, paling gampang yah lgs label orang ini X, Y, Z. Dan kemungkinan besar itu juga yg terjadi ke diri gw saat orang mau cari tau gw siapa.

Gw bukan Syahrini dan gw gak imply diri gw sbg sosialita asik yg gaul. Tapi gw sadar ttg komentar ini beberapa kali... dan lucunya ini datang dari temen2 yg lumayan deket sama gw.

Tiap kali gw cerita tentang some shit stuff yg gw alami (esp. pas di Spanyol), respons yg gw dapet adalah "Wow, gw gak nyangka lu ngalamin itu. Padahal keliatannya di FB lu seneng2 aja... nari2 gitu." (kesannya gw nari2 yahud gitu yah di atas mobil yg kayak di tengah lampu merah).

Finally respons itu bikin gw reflect, "Wow, berapa banyak orang yg menyimpulkan image gw sbg penari yg lalala lilili di bawah pelangi tanpa mempunyai masalah?" Dan berapa banyak dari kita yg juga sudah nge-craft image kita sedemikian rupa di social media sampe2 image kita di dunia nyata udah diatur sama image social media kita yg selalu terlihat "bahagia"?

Malem ini gw gak akan jelasin apa pendapat gw tentang social media atau gimana gw mencoba dg keras untuk memakai sosial media dg penuh akhlak dan tanggung jawab.

Tapi malem ini gw mau menegaskan bahwa apapun yg lu liat di sosial media... itu semua hanya panggung sandiwara. Gak berarti kalo gw berbohong sama kerjaan gw sbg dancer di sosmed (gak taunya gw guru mat dan fisika di siang hari). Tapi itu hanya lah menunjukkan 1/2 bagian dari hidup gw.

Mungkin orang yg gak pernah bener2 kenal sama gw akan berasumsi dari sosmed gw beberapa hal di bawah ini:

1. Kaya raya, hidup mevah karena bisa tinggal di Australia dan Spanyol
2. Hidup jet set karena tahun lalu gw sempet bolak balik Aussie-Spain macam beli martabak di ruko depan Semanan (padahal gw terpaksa bolak-balik karena urusan visa)
3. Kerjaan enak menjadi penari karena gak semacam kerja kantoran yg set sama work hours
4. Hidup mevah juga karena bisa keliling kota/negara di Europe (traveling within Europe sangatlah terjangkau, percayalah)
5. Menikah muda karena hamil diluar nikah lalu skg anaknya dijual untuk beli tas Hermes
6. Punya private jet dan gigi emas
7. Punya banyak lembu yg sehat dan kuat (semacam kisah di kitab suci yahh)
8. Punya karpet merah tergelar indah saat saya sampai di pintu rumah
9. Dan bisa ditambahin asumsi ajaib lainnya
10. Selamat anda mendapatkan satu set piring cantik :) :) :)

Anyway beberapa list yg gw tulis di atas ada benar, ada yg gak dan ada yg half-truth. Masih ada setengah kehidupan lagi yg mungkin banyak org gak tau, gak perlu tau dan gw pun gak ada obligasi untuk share itu secara detail. Contohnya:

1. Makanan yg gw makan. 
Karena napsu makan gw lebih tinggi daripada videoin makanan gw di IG story cuma buat show off ke orang betapa eksotik nya makanan gw di Spanyol

2. Drama antara gw dan officers2 Spanyol untuk urus dokumen, visa, dll. 
Karena itu kayak nontonin sidang Pemerintah VS Ibu Pencuri Ayam Kampung. Kurang greget ceritanya. Penuh birokrasi

3. Drama keluarga yg terjadi di Jkt. 
Because gw bukan Kim Kardashians. Jadi gw gak perlu share itu dan orang gak perlu tau.

4. Feeling confused of what my real "home" is. 
Karena konsekuensi hidup nomaden ini... the life that I choose

5. The continuous issue of lost identity. 
Karena, again, itu adlh konsekuensi dari hidup yg gw pilih.

Dan masih banyak hal lainnya yg tidak bisa gw gambarkan hanya dari sebuah postingan di FB or IG.

Again, gw bukan sosialita gaul dan gw bukan siapa2. Tapi gw cuma bisa memberikan contoh lewat diri gw dari komentar yg beberapa kali gw denger ttg korelasi image di sosmed gw dan hidup nyata gw.

Gw inget banget pas gw masih jadi anak komplek dan gak pernah keluar lebih jauh dari daerah Jakarta Timur, gw selalu iri kalo liat orang bisa keluar negeri. Apalagi bisa hidup pindah2 ke negara lain. Gw cuma liat hidup mereka tuh enak, mevah, dan gak perlu ngalamin kejamnya dan macetnya hidup di ibukota Jkt.

Or kadang gw ngiri sama anak2 Jkt gaul yg tempat gaul nya bisa mengundang 1000 likes di sosmed. Mungkin cuma dari liat foto2 makanan dari sosmed anak2 gaul Jkt aja gw bisa boker emas kali saking mevah nya tempat gaul mereka.

So, menurut gw... persepsi kita dalam menggunakan sosmed itu sangat penting. Kita bisa pake sosmed buat empower kita dan orang lain. Tapi kita juga bisa pake sosmed buat bikin kita (or orang lain) feel shit and kayak loser. Again, itu semua dari mental kita, image apa yg kita punya ttg diri kita, and so on.

Satu hal yg gw belajar dari semua dunia sosmed, self-image, dan self-esteem adalah... apapun yg kita liat di sosial media hanyalah panggung sandiwara. 

Kita gak akan pernah tau hidup dan struggle orang yg sebenarnya cuma dari profile sosmed mereka. Karena kalo mereka juga ceritain detail satu per satu, yg ada pasti tuh orang pasti dikatain "Anjirrr nih orang drama bgt ceritain semuanya di sosmed." NAH... tuh orang ujung2nya mau ngapain juga salah kan???

So... teman2, ingatlah dirimu itu lebih dari apa yg kalian tampilkan di sosmed. Dan begitu juga hidup temen2 di sekitar lu yg mungkin lu liat sering hengout di cafe rooftop gaul atau traveling keluar negeri. Lu gak tau aja kan besoknya mereka makan indomie sebulan karena gak ada duit???

Atau kalo lu liat foto cewek cakep dan kurus terus padahal makan banyak... mana lu tau kalo dia take foto 100x sebelum di post terus lari marathon keliling komplek sehabis makan???

Atau lu liat foto temen lu romantis mulu sama pasangannya. Mana lu tau kalo sebenernya romansa itu hanyalah pencitraan dan sebenernya gak pernah ada true conversation yg going on antara mereka berdua. Mungkin aja orang2 itu butuh "likes" buat memperkuat fondasi cinta mereka. Who knows?
Intinya kita gak akan pernah tau "behind the scene" dari foto2 atau video2 di IG and FB yg kita lihat. 

Tahun ini gw udah uninstall app FB di hape gw. Bukan karena gw bijak atau gimana sih. Tapi karena memory di hape gw gak cukup lagi, HAHA. Minggu pertama gw uninstall FB sih hidup gw berasa hampa DAN gw baru sadar kalo gw unconsciously selalu check app FB kira2 tiap 10 menit sekali. WAOW.

Tapi lama kelamaan gw kebiasaan gak cek FB terus2an, which means gw gak check hape terus2an with no reason, which MEANS gw bisa lebih present dan bener2 menikmati betapa beautiful nya surrounding di kota yg baru gw tempati ini tanpa perlu terus2an post ke sosmed untuk kasih liat ke orang2 "betapa indahnya hidup gw".

Semoga di tahun 2018 ini kita bisa hidup lebih in the moment dan tetap merasa bahagia dan content tanpa perlu bergantung dari those "loves" and "likes" di sosmed kita.